Jumat, 26 Desember 2008

ANALISA FILSAFAT LUDWING WITTGENSTEIN

FILSAFAT LUDWIG WITTGENSTEIN


Ludwig Wittgenstein merumuskan suatu cara yang berbeda dalam memandang pikiran manusia. Bagi dia, seluruh aspek dari pikiran manusia tidak dapat terlepas dari penggunaan bahasa.
Filsafat Wittgenstein dibagi menjadi dua periode yaitu :
Wittgenstein I: Tractatus Logico-Philosophicus (1922)
Teori ini mengungkapkan tentang teori gambar (picture theory) dan logika bahasa. Hakekat bahasa merupakan gambaran logis realitas dunia, yang tersusun atas proposisi-proposisi dan menggambarkan keberadaan suatu peristiwa secara faktual (state of affairs). Dengan kata lain penggunaan bahasa dalam analisis teori filsafat harus mampu mengungkapkan secara obyektif fakta tentang dunia, dan hal ini harus dilakukan dengan menggunakan bahasa berdasarkan logika. Dengan bahasa dapat dikatakan dengan jelas apa yang ingin dikatakan, sedangkan untuk menjelaskan apa yang tidak dapat dikatakan Wittgenstein menggunakan metafora dan analogi.
Berdasarkan picture theory tersebut, menurut Wittgenstein metafisika itu tidak mengungkapkan realitas fakta sehingga tidak bermakna. Dalam hubungannya dengan ungkapan Tuhan, estetika dan etika Wittgenstein menyebutnya bersifat mistis.
Oleh karena itu pada teori I ini Wittgenstein mendasarkan pada satu bahasa ideal yang memenuhi syarat logika.
Wittgenstein II : Philosophical Investigations (1953)
Teori kedua Wittgenstein ini memuat tentang teori makna dalam penggunaan (meaning in use) dan permainan bahasa (language games). Makna sebuah kata adalah penggunaannya dalam kalimat, makna sebuah kalimat adalah penggunaannya dalam bahasa dan makna bahasa adalah penggunaannya dalam berbagai konteks kehidupan manusia. Oleh karena itu yang patut dipertanyakan dalam hal ini adalah bagaimana sebuah kata digunakan, bukan arti dari kata tersebut.
Mengenai language games (permainan bahasa), Wittgenstein mengatakan bahwa kita harus melihat, membaca dan memahami suatu bahasa dalam konteksnya masing-masing. Artinya di sini ada aturan atau norma dalam menggunakan bahasa di berbagai bidang kehidupan.
Dalam pemikiran yang kedua ini, Wittgenstein tidak lagi mendasarkan pada bahasa ideal dan logis, tetapi mengembangkan pemikiran tentang pluralitas bahasa dalam kehidupan manusia. Walau demikian baik pada teori pertama maupun kedua bagi Wittgenstein bahasa adalah elemen yang esensial di dalam pikiran manusia
Filsafat Wittgenstein tersebut relevan bagi pengembangan filsafat bahasa baik menyangkut aspek ontologis, epistemologis maupun aksiologis.
Secara ontologis konsep permainan bahasa menunjukkan hakekat kehidupan manusia dalam hubungannya dengan dirinya sendiri, orang lain, masyarakat, alam serta terhadap Tuhan. Bisa dikatakan kajian bahasa dalam hal ini untuk mendeskripsikan permainan bahasa dalam kehidupan manusia.
Secara epistemologis, setiap penggunaan bahasa dalam kehidupan manusia memiliki aturannya masing-masing yang sangat beragam serta tidak terbatas. Aturan itu sulit jika hanya ditentukan secara normatif, serta sulit ditentukan batas-batasnya secara tepat, tetapi manusia memahami bagaimana menggunakan bahasa dalam setiap aspek kehidupan yang sangat beraneka ragam tersebut.
Sedangkan pada aspek aksiologis penggunaan bahasa adalah sebagai sarana dalam berkomunikasi mengungkapkan suatu makna. Untuk mengetahui hakekat makna yang terkandung dalam suatu ungkapan bahasa, kita harus memahami nilai-nilai yang terkandung dalam kehidupan manusia dalam hubungannya dengan penggunaan ungkapan bahasa tersebut.
Dari pemahaman mengenai konsep bahasa ditinjau secara ontologs, epistemologis maupun aksiologis di atas menunjukkan bahwa terdapat hubungan sebab akibat antara manusia dengan bahasa, yaitu manusia sebagai sebab dan bahasa sebagai akibat. Berdasarkan kenyataan ini nilai yang melekat pada bahasa ditentukan oleh eksistensi manusia sebagai subyek Nilai sendiri dapat dipahami manusia melalui akal budi serta kesadarannya. Seseorang mampu berpikir tentang sesuatu, memiliki suatu imajinasi serta mampu berkreativitas karena ia memiliki akal budi dan kesadaran.
Makna bahasa bukan terdapat dalam bahasa atau penutur bahasa melainkan terdapat dalam kehidupan manusia itu sendiri. Oleh karena itu untuk mengkaji makna bahasa harus dilakukan pengamatan terhadap kehidupan manusia dalam hubungannya dengan aturan penggunaan bahasa tersebut. Setiap konteks penggunaan bahasa memiliki aturan masing-masing. Dalam aturan beserta penggunaannya dalam kehidupan manusia itulah akan ditemukan makna bahasa.
Obyektivitas kebenaran suatu ilmu akan tercapai manakala ontologi dan aksiologi makna bahasa tidak tumpang tindih dengan subyek penutur bahasa yaitu manusia. Makna bahasa yang dikaji pada kehidupan manusia dan merupakan nilai tersebut digunakan secara pragmatis dalam kehidupan manusia pula.

Kesimpulan
Wittgenstein telah menunjukkan kepada kita bahwa bahasa tidaklah dapat dipisahkan dari kehidupan manusia. Kita tidak dapat memahami dan menggambarkan bagaimana realita kehidupan di dunia ini tanpa bahasa, serta kita tidak dapat memaksudkan suatu apapun tanpa bahasa. Manusia tidak mungkin keluar dari sistem bahasa untuk melihat dunia secara obyektif. Makna dari pikiran dan ekspresi kita tidak dapat lepas dari bahasa. Untuk mengetahui dan mempertanyakan nama, ataupun ekspresi, kita harus melihat bagaimana penggunaan nama atau ekspresi tersebut di dalam language game.

Tidak ada komentar: